Selasa, 07 Desember 2010

SBY: Masih Ada Kesempatan!

Denpasar - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyempatkan diri nonton pertandingan AFF Suzuki Cup 2010 di Istana Tampaksiring, Gianyar, Bali. Pertandingan yang berlangsung a lot antara kedua tim sempat membuat Presiden dan para undangan degdegan.

Pantauan detiksport, Selasa (7/12/2010) malam, ruangan konferensi yang terletak di kompleks Istana Tampaksiring terlihat penuh. Para undangan termasuk Kapolri, Panglima TNI, Mennegpora, Menko Polhukam, Menneg Perekonomian, para pejabat di lingkungan Pemprov Bali dan masyarakat pencinta sepakbola di Bali.

Presiden yang didampingi Ibu Ani Yudhoyono tampak tegang di babak pertama pertandingan. Duduk di barisan paling depan, Presiden dan Ibu Ani mengenakan batik hijau.

Dalam sambutannya sebelum pertandingan dimulai, Mennegpora Andi Mallarangeng berharap tim Indonesia bisa memetik kemenangan sehingga bisa menjadi momentum awal kebangkitan sepak bola Indonesia.

"Semoga sepakbola kita meraih kemenangan," harap Andi.

Sementara Presiden SBY tidak patah semangan saat wasit meniup peluit tanda babak pertama berakhir.

"Masih ada kesempatan," kata SBY sambil tersenyum sembari mengacungkan jempol kananya.

Kamis, 18 November 2010

Merapi, Letusan Terbesar dalam Sejarah Republik


Jika dihitung sejak ditetapkan status awas pada Jumat (22/11/2010), sudah hampir tiga pekan Gunung Merapi yang berada di Jawa Tengah dan DIY, bergolak. Letusan besar pertama gunung berketinggian 2.968 meter dari permukaan laut tersebut, terjadi pada Selasa (26/11/2010). Setelah itu, letusan berhenti, namun aktivitas tetap tinggi. Sepanjang Rabu (3/11/2010) hingga Minggu (7/11/2010) Merapi terus meletus, menyeburkan awan panas dan memuntahkan material volkanik.

Letusan yang terjadi pada Kamis (4/11/2010) malam, hingga keesokan harinya itu dikatakan lebih kuat dibanding letusan yang terjadi pada Selasa (26/11/2010). Bahkan letusan yang terjadi pada Jumat (5/11/2010) disebut sebagai letusan terbesar sejak 1930. Pada tahun itu Merapi meletus hingga menewaskan 1.400 orang.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis jumlah total korban tewas Merapi untuk sementara mencapai 116 orang. Dengan rincian,di Sleman 104 orang, Magelang 7 orang, Klaten 2 orang, dan Boyolali 3 orang. Jumlah tersebut belum termasuk 4 relawan yang tewas saat melakukan evakuasi. Sementara korban luka tercatat 218 orang. Adapun jumlah total pengungsi mencapai 198 ribu orang, terdiri dari 56 ribu orang dari Sleman, 62 ribu orang dari Magelang, 40 ribu dari Klaten, dan 30 ribu dari Boyolali.

Selain menyebabkan korban tewas dan luka-luka, ribuan rumah warga yang tinggal di keempat kabupaten tersebut juga luluh lantah. Begitu juga dengan lahan pertanian dan hewan ternaknya.

Heri Suprapto, Kepala Desa Kepuharjo, Sleman, Yogyakarta, kepada detikcom, mengatakan, 90 persen rumah penduduk di Desa Kepuharjo rata dengan tanah akibat terjangan awan panas dan material vulkanik. Bukan itu saja, puluhan ternak dan hektaran lahan pertanian milik warga desa ikut musnah. "Di desa kami yang tersisa hanya tinggal 1 dusun. Itu pun tinggal separuhnya," jelas bapak 4 orang anak ini.

Desa Kepuharjo merupakan salah satu desa yang dekat dengan puncak Merapi. Desa seluas 850 hektar ini, sebagian wilayahnya hanya berjarak sekitar 4 kilometer dari puncak Merapi. Adapun wilayah Desa Kepuharjo yang paling jauh dari puncak Merapi berjarak 14 kilometer. Akibat amuk Merapi tersebut, warga Kepuharjo yang berjumlah 2.994 jiwa ini terpaksa mengungsi. Mereka tersebar di sejumlah tempat pengungsian yang ada di wilayah Sleman.

Sementara Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan sleman, mencatat, sejauh ini sapi yang mati di wilayah Sleman sebanyak 275 ekor yang tersebar di Kinahrejo, Pelemsari, kaliadem dan Ngrangkah. Sementara puluhan lainnya kondisinya sangat mengenaskan karena kulitnya melepuh bahkan banyak yang mengelupas. Belum lagi sapi-sapi yang selamat sebagian besar terkena radang saluran pernapasan dan gangguan pencernaan.

Sejauh ini, pemerintah pusat mengaku masih mendata sapi-sapi yang menjadi korban letusan gunung Merapi di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Namun Menteri Pertanian Suswono saat ditemui wartawan di Gedung Agung, Yogyakarta, mengatakan, pemerintah sudah menyiapkan dana Rp 100 miliar untuk mengganti sapi milik warga yang yang jadi korban Merapi.

Selain hewan ternak, warga di sekitar lereng Merapi juga mengalami kerugian akibat lahan pertanian mereka rusak akibat abu vulkanik. Misalnya di wilayah Jawa Tengah, yakni di Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Klaten. Menurut data yang dirilis Pemprov Jawa Tengah, akibat letusan merapi ribuan hektar lahan pertanian rusak.

Lahan pertanian yang rusak di tiga wilayah tersebut, meliputi lahan pertanian Salak seluas 1.350 hektar, tanaman padi seluas 1.014 hektar, jagung seluas 2.711 hektar, cabai seluas 159 hektar, ubi kayu seluas 132 hektar, ubi jalar seluas 157 hektar, bunga kol 40 hektar, kacang panjang 26 hektar, bawang daun 120 hektar, kubis 182 hektar, sawi 30 hektar, tomat 115 hektar, terong 6 hektar, wortel 170 hektar, buncis 61 hektar, timun 6 hektar, dan labu siam seluas 24 hektar.

Rusaknya rumah, harta benda dan lahan pertanian tentu menimbulkan kerugian yang besar bagi warga yang tinggal di lereng Merapi. "Rumah dan lahan sawah saya semuanya ludes. Bahan ijazah, BPKP, dan sertifikat tanah sudah hangus terbakar," keluh Suprapto.

Meski sudah tidak ada lagi yang tersisa, namun Suprapto berharap bencana ini supaya cepat berakhir. Setidaknya dia dan warga desa punya kepastian soal masa depan mereka. Apakah akan direlokasi atau tetap dibolehkan menempati wilayah yang sudah turun-temurun mereka tinggali. Apalagi mereka sudah tidak kerasan tinggal di pengungsian yang sesak dan banyak keterbatasan.

Namun harapan itu sejauh ini belum menemui kepastian. Sebabnya Gunung Merapi hingga saat ini masih bergelora. Sebab hampir setiap hari suara gemuruh dan hembusan awan panas masih terjadi. "Hingga kini energi yang tersimpan di gunung tersebut masih tetap tinggi. Dan setiap saat bisa dikeluarkan," ungkap Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), R Sukhyar saat dihubungi detikcom.

Menurutnya, energi Gunung Merapi sejak letusan 3 November hingga 7 November 2010 jumlahnya tiga kali lebih besar dengan energi letusan pada 26 Oktober 2010. Itu sebabnya status 'Awas Merapi' masih terus ditetapkan. Dan radius aman masih berjarak 20 kilometer.

Sukhyar juga memperingatkan warga, selain ancaman awan panas dan debu vulkanik, lahar dingin dari Merapi juga bisa menjadi ancaman serius. Itu sebabnya warga yang tinggal di 12 sungai yang berhulu di Gunung Merapi untuk tetap waspada, terutama warga yang tinggal di sekitar Sungai Gendol.

Saat ini, kawah berdiameter 400 meter yang telah terbentuk di puncak Merapi lebih terbuka ke Selatan atau mengarah ke Kali Gendol. "Kami meminta warga yang tinggal di sungai Gendol harus waspada dari ancaman awan panas dan lahar."

Menurut Sukhyar, ancaman tersebut hanyalah sebatas prediksi saja. Sebab jika melihat semburan awan panas dan material vulkanik yang belakangan terlontar secara vertikal, penyebarannya bisa ke mana saja.

Rabu, 17 November 2010

Rihanna Benci Blogger


PENYANYI seksi Rihanna benci blogger yang menulis cerita tidak benar tentangnya. Menurutnya, blogger-blogger tersebut tidak punya kegiatan lain yang menarik untuk dilakukan.

"Aku sedang mati rasa sekarang ini dan tidak mengerti apa ini sebenarnya. Ini seperti sekelompok orang yang tidak punya apa-apa lagi selain membenci hidup dan diri mereka sendiri termasuk pekerjaan dan penampilan. Mereka suka memberitakan kejelekan orang lain yang bahkan tidak mereka kenal dan kebetulan selebritas," ujarnya sewot.

"Rasanya mustahil memiliki kesempatan berbicara berhadapan langsung dengan mereka jadi mereka juga memilih untuk bersembunyi di balik komputer mereka," tandas Rihanna yang sedang berpacaran dengan Matt Kemp sejak Januari 2010.

Meskipun benci pada blogger, hal itu tidak menutupi keinginannya untuk mendapatkan informasi melalui dunia maya. "Kadang-kadang aku masih membaca blog, tergantung aku sedang ingin mencari informasi tentang apa," katanya.

Muslim di Cina Rayakan Idul Adha

Umat Muslim di Kota Xining, Qinghai, Cina, merayakan hari raya Idul Adha 1431 Hijriah dengan suka cita, Rabu (16/11). Meski cuaca dingin, lebih dari seratus ribu kaum Muslim berkumpul di jalan-jalan dan Masjid Dongguan di kota tersebut.

Masjid dipenuhi warga yang melaksanakan salat Idul Adha. Bahkan, sebagian besar jemaah harus melaksanakan salat dan mendengarkan ceramah di jalan-jalan.

Kota Xining, Qinghai, terletak di bagian tengah Cina, dengan populasi sekitar 611.000 jiwa itu. Saat Cina menggelar olimpiade, kaum Muslim di kota mendapat perlakukan tidak adil, lantaran mendapatkan pengawasan yang sangat ketat dan berlebihan dari aparat keamanan

Kampung Yoka Masih Mencekam

Suasana Kampung Yoka, Jayapura, Papua, masih mencekam menyusul bentrok antarsuku, Rabu (17/11) pagi. Sedikitnya 35 rumah, tiga unit mobil, dan dua unit sepeda motor hangus terbakar.

Tak ada seorang pun yang mau membersihkan sisa penyerangan karena warga masih takut akan serangan susulan. Bahkan, sebagian warga Yoka memilih mengungsi ke kerabat dekat. Sedangkan sebagian lain, terutama kaum lelaki, menjaga kampung dengan senjata di tangan.

Aparat gabungan Brimob Papua dan Polresta Jayapura disiagakan dengan senjata lengkap. Bahkan mereka dilengkapi kendaraan barakuda dan meriam air. Sejauh ini, tidak ada korban jiwa dalam bentrokan tersebut.

Bentrokan berawal dari pembuatan nada dering telepon genggam oleh seorang warga Kampung Yoka. Nada dering tersebut dinilai melecehkan kehormatan warga Wamena. Akhirnya, warga Suku Wamena menyerang Kampung Yoka yang berlokasi di bawahnya

Menpora: Prestasi Atlet Indonesia Ketinggalan Jauh

Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Mallarangeng menyatakan prestasi atlet Indonesia ketinggalan jauh dari atlet Asia Timur. Namun, tambah Andi, ini terjadi juga pada negara di Asia Barat, Selatan, serta Asia Tenggara. "Kita ketinggalan jauh dari prestasi atlet Asia Timur," kata Menpora saat ditanya soal kesulitan Indonesia meraih medali emas di Asian Games XVI 2010 di Guangzhou, Cina, Rabu(17/11).

Andi mengatakan, Cina, Jepang, serta Korea yang kini menempati tiga besar klasemen sementara perolehan medali masih sulit untuk diimbangi. Peserta dari Asia Barat, Selatan, Tenggara termasuk juga pecahan Uni Soviet juga tak bisa mengimbangi," ucap Menpora. Kondisi serupa juga terjadi saat bertanding di Olimpiade. Dimana Cina dan Korea yang masuk persaingan.

Hasil Asian Games 2010, ujar Menpora, akan menjadi salah satu bahan evaluasi bagi Indonesia untuk menyiapkan serta memaksimalkan strategi pembinaan atlet di masa mendatang. Ia optimistis melalui rintisan pembinaan Prima serta Pratama yang digulirkan di Tanah Air, bisa memberikan perubahan ke depan. Salah satunya menekankan pembinaan terhadap cabang tertentu secara fokus untuk Olimpiade.

Terkait kemungkinan stagnasi, bahkan degradasi prestasi olahraga Indonesia, Menpora secara tegas membantahnya. "Nggak sama sekali terjadi degradasi prestasi, yang terjadi kebangkitan, namun dinamikanya masih dibawah permukaan," ujar Andi. "Ke depan dengan strategi pembinaan yang telah kita siapkan, optimistis bisa meraih prestasi yang lebih baik lagi."

Selasa, 19 Oktober 2010

Christian Gonzales Jadi WNI 1 November 2010

Sembilan tahun menetap di Indonesia dan tak pulang ke negaranya Uruguay, selama 6 tahun. Penyerang Persib Bandung Christian Gonzales akhirnya akan berubah status menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) dalam waktu dekat lewat jalur naturalisasi.

Kepastian tersebut didapat, setelah hari Senin, 18 Oktober 2010, Gonzalez bertemu dengan Badan Tim Nasional (BTN) PSSI di Jakarta. Dengan demikian, cita-cita Gonzalez menjadi pemain timnas Indonesia akan kesampaian, dan rencananya Gonzalez akan mengikuti seleksi tim nasional yang akan mengikuti turnamen Piala AFF bulan Desember.

“Alhamdulillah, akhirnya saya akan menjadi WNI mulai tanggal 1 November (2010). Ini perjuangan saya sejak tahun 2006 ingin menjadi warga negara Indonesia,” ungkapnya di stadion Siliwangi, Selasa, 19 Oktober 2010.

Keputusan Gozalez menjadi WNI pun, sudah mendapat restu dari kedua orang tuanya di Uruguay, serta istrinya Eva Siregar, seorang perempuan Indonesia, "Selama sembilan tahun saya mencari makan di Indonesia dan punya istri orang Indonesia juga, jadi buat apa saya kembali lagi ke Uruguay. Saya ingin menghabiskan hidup saya di Indonesia dan melatih anak-anak saya agar menjadi pemain bola handal untuk negeri ini," tegas Gonzalez.

“Soal timnas, rasanya saya belum tentu bisa langsung membela Indonesia, karena masih harus mengikuti proses seleksi terlebih dahulu. Karena saya juga harus bersaing dengan 30 pemain lainnya, termasuk pemain naturalisasi lainnya juga."

Namun saat diminta wartawan agar Gonzalez menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, Gozalez menjawabnya dengan senyuman lebar. "Nanti saja," sambil bergegas masuk ke dalam ruang ganti pemain.

Badan Tim Nasional PSSI yang dikepalai oleh Iman Arif, akhir-akhir ini memang sangat aktif dalam upaya menaturalisasi para pemain keturunan yang sedang berlaga di kompetisi luar dan dalam negeri. Mereka adalah Jhonny Rudolf Van Beukering (Belanda), Raphael Guilermo Eduardo (Belanda), Christian Gonzales (Uruguay), dan Kim Jeffrey Kurniawan (Jerman) serta David Ririhena.

Senin, 04 Oktober 2010

Abu Nawas dan Kisah Enam Ekor Lembu yang Pandai Bicara

Pada suatu hari, Sultan Harun al-Rasyid memanggil Abu Nawas menghadap ke Istana. Kali ini Sultan ingin menguji kecerdikan Abu Nawas. Sesampainya di hadapan Sultan, Abu Nawas pun menyembah. Dan Sultan bertitah, “Hai, Abu Nawas, aku menginginkan enam ekor lembu berjenggot yang pandai bicara, bisakah engkau mendatangkan mereka dalam waktu seminggu? Kalau gagal, akan aku penggal lehermu.
“Baiklah, tuanku Syah Alam, hamba junjung tinggi titah tuanku.”
Semua punggawa istana yang hadir pada saat itu, berkata dalam hati, “Mampuslah kau Abu Nawas!”
Abu Nawas bermohon diri dan pulang ke rumah. Begitu sampai di rumah, ia duduk berdiam diri merenungkan keinginan Sultan. Seharian ia tidak keluar rumah, sehingga membuat tetangga heran. Ia baru keluar rumah persis setelah seminggu kemudian, yaitu batas waktu yang diberikan Sultan kepadanya.
Ia segera menuju kerumunan  orang banyak, lalu ujarnya, “Hai orang-orang muda, hari ini hari apa?”
Orang-orang yang menjawab benar akan dia lepaskan, tetapi orang-orang yang menjawab salah, akan ia tahan. Dan ternyata, tidak ada seorangpun yang menjawab dengan benar. Tak ayal, Abu Nawas pun marah-marah kepada mereka, “Begitu saja kok anggak bisa menjawab. Kalau begitu, mari kita menghadap Sultan Harun Al-Rasyid, untuk mencari tahu kebenaran yang sesungguhnya.”
Keesokan harinya, balairung istana Baghdad dipenuhi warga masyarakat yang ingin tahu kesanggupan Abu Nawas mambawa enam ekor Lembu berjenggot.
Sampai di depan Sultan Harun Al-Rasyid, ia pun menghaturkan sembah dan duduk dengan khidmat. Lalu, Sultan berkata, “Hai Abu Nawas, mana lembu berjenggot yang pandai bicara itu?”
Tanpa banyak bicara, Abu Nawas pun menunjuk keenam orang yang dibawanya itu, “Inilah mereka, tuanku Syah Alam.”
“Hai, Abu Nawas, apa yang kau tunjukkan kepadaku itu?”
“Ya, tuanku Syah Alam, tanyalah pada mereka hari apa sekarang,” jawab Abu Nawas.
Ketika Sultan bertanya, ternyata orang-orang itu memberikan jawaban berbeda-beda. Maka berujarlah Abu Nawas, “Jika mereka manusia, tentunya tahu hari ini hari apa. Apalagi jika tuanku menanyakan hari yang lain, akan tambah pusinglah mereka. Manusia atau hewan kah mereka ini? “Inilah lembu berjenggot yang pandai bicara itu, Tuanku.”
Sultan heran melihat Abu Nawas pandai melepaskan diri dari ancaman hukuman. Maka Sultan pun memberikan hadiah 5.000 dinar kepada Abu Nawas.

Sabtu, 02 Oktober 2010

Anjing dan Bayangannya

Seekor anjing yang mendapatkan sebuah tulang dari seseorang, berlari-lari pulang ke rumahnya secepat mungkin dengan senang hati. Ketika dia melewati sebuah jembatan yang sangat kecil, dia menunduk ke bawah dan melihat bayangan dirinya terpantul dari air di bawah jembatan itu. Anjing yang serakah ini mengira dirinya melihat seekor anjing lain membawa sebuah tulang yang lebih besar dari miliknya. Bila saja dia berhenti untuk berpikir, dia akan tahu bahwa itu hanyalah bayangannya. Tetapi anjing itu tidak berpikir apa-apa dan malah menjatuhkan tulang yang dibawanya dan langsung melompat ke dalam sungai. Anjing serakah tersebut akhirnya dengan susah payah berenang menuju ke tepi sungai. Saat dia selamat tiba di tepi sungai, dia hanya bisa berdiri termenung dan sedih karena tulang yang di bawanya malah hilang, dia kemudian menyesali apa yang terjadi dan menyadari betapa bodohnya dirinya.

Kerbau dan Kambing

Seekor kerbau jantan berhasil lolos dari serangan seekor singa dengan cara memasuki sebuah gua dimana gua tersebut sering digunakan oleh kumpulan kambing sebagai tempat berteduh dan menginap saat malam tiba ataupun saat cuaca sedang memburuk. Saat itu hanya satu kambing jantan yang ada di dalam gua tersebut. Saat kerbau masuk kedalam gua, kambing jantan itu menundukkan kepalanya, berlari untuk menabrak kerbau tersebut dengan tanduknya agar kerbau jantan itu keluar dari gua dan dimangsa oleh sang Singa. Kerbau itu hanya tinggal diam melihat tingkah laku sang Kambing. Sedang diluar sana, sang Singa berkeliaran di muka gua mencari mangsanya. Lalu sang kerbau berkata kepada sang kambing, "Jangan berpikir bahwa saya akan menyerah dan diam saja melihat tingkah lakumu yang pengecut karena saya merasa takut kepadamu. Saat singa itu pergi, saya akan memberi kamu pelajaran yang tidak akan pernah kamu lupakan."

Wabah

Mula-mula tak ada seorang pun di rumah keluarga besar itu yang berterus terang. Masing-masing memendam pengalaman aneh yang dirasakannya dan curiga kepada yang lain. Masing-masing hanya bertanya dalam hati, “Bau apa ini?” Lalu keadaan itu meningkat menjadi bisik-bisik antar “kelompok” dalam keluarga besar itu. Kakek berbisik-bisik dengan nenek. “Kau mencium sesuatu, nek?”
“Ya. Bau aneh yang tak sedap!” jawab nenek.
“Siapa gerangan yang mengeluarkan bau aneh tak sedap ini?”
“Mungkin anakmu.”
“Belum tentu; boleh jadi cucumu!”
“Atau salah seorang pembantu kita.”
Ayah berbisik-bisik dengan ibu. “Kau mencium sesuatu, Bu?”
“Ya. Bau aneh yang tak sedap!” jawab ibu.
“Siapa gerangan yang mengeluarkan bau aneh tak sedap ini?”
“Mungkin ibumu.”
“Belum tentu; boleh jadi menantumu.”
“Atau salah seorang pembantu kita.”
Demikianlah para menantu pun berbisik-bisik dengan istri atau suami masing-masing. Anak-anak berbisik antarmereka. Para pembantu berbisik-bisik antarmereka. Kemudian keadaan berkembang menjadi bisik-bisik lintas “kelompok”. Kakek berbisik-bisik dengan ayah atau menantu laki-laki atau pembantu laki-laki. Nenek berbisik-bisik dengan ibu atau menantu perempuan atau pembantu perempuan. Para menantu berbisik-bisik dengan orang tua masing-masing. Ibu berbisik-bisik dengan anak perempuannya atau menantu perempuannya atau pembantu perempuan. Ayah berbisik-bisik dengan anak laki-lakinya atau menantu laki-lakinya atau pembantu laki-laki. Akhirnya semuanya berbisik-bisik dengan semuanya.
Bau aneh tak sedap yang mula-mula dikira hanya tercium oleh masing-masing itu semakin menjadi masalah, ketika bisik-bisik berkembang menjadi saling curiga antarmereka. Apalagi setiap hari selalu bertambah saja anggota keluarga yang terang-terangan menutup hidungnya apabila sedang berkumpul. Akhirnya setelah semuanya menutup hidung setiap kali berkumpul, mereka pun sadar bahwa ternyata semuanya mencium bau aneh tak sedap itu.
Mereka pun mengadakan pertemuan khusus untuk membicarakan masalah yang mengganggu ketenangan keluarga besar itu. Masing-masing tidak ada yang mau mengakui bahwa dirinya adalah sumber dari bau aneh tak sedap itu. Masing-masing menuduh yang lainlah sumber bau aneh tak sedap itu.
Untuk menghindari pertengkaran dan agar pembicaraan tidak mengalami deadlock, maka untuk sementara fokus pembicaraan dialihkan kepada menganalisa saja mengapa muncul bau aneh tak sedap itu.
Alhasil, didapat kesimpulan yang disepakati bersama bahwa bau itu timbul karena kurangnya perhatian terhadap kebersihan. Oleh karena itu diputuskan agar semua anggota keluarga meningkatkan penjagaan kebersihan; baik kebersihan diri maupun lingkungan. Selain para pembantu, semua anggota keluarga diwajibkan untuk ikut menjaga kebersihan rumah dan halaman. Setiap hari, masing-masing mempunyai jadwal kerja bakti sendiri. Ada yang bertanggung jawab menjaga kebersihan kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi, dan seterusnya. Sampah tidak boleh dibuang di sembarang tempat. Menumpuk atau merendam pakaian kotor dilarang keras.
Juga disepakati untuk membangun beberapa kamar mandi baru. Tujuannya agar tak ada seorang pun anggota keluarga yang tidak mandi dengan alasan malas. Siapa tahu bau itu muncul justru dari mereka yang malas mandi. Di samping itu, semua anggota keluarga diharuskan memakai parfum dan menyemprot kamar masing-masing dengan penyedap ruangan. Semua benda dan bahan makanan yang menimbulkan bau seperti trasi, ikan asin, jengkol, dan sebagainya dilarang dikonsumsi dan tidak boleh ada dalam rumah. Setiap jengkal tanah yang dapat ditanami, ditanami bunga-bunga yang berbau wangi seperti mawar, melati, kenanga, dan sebagainya.
Ketika kemudian segala upaya itu ternyata tidak membuahkan hasil dan justru bau aneh tak sedap itu semakin menyengat, maka mereka menyepakati untuk beramai-ramai memeriksakan diri. Jangan-jangan ada seseorang atau bahkan beberapa orang di antara mereka yang mengidap sesuatu penyakit. Mereka percaya ada beberapa penyakit yang dapat menimbulkan bau seperti sakit gigi, sakit lambung, paru-paru, dan sebagainya. Pertama-tama mereka datang ke puskesmas dan satu per satu mereka diperiksa. Ternyata semua dokter puskesmas yang memeriksa mereka menyatakan bahwa mereka semua sehat. Tak ada seorang pun yang mengidap sesuatu penyakit. Tak puas dengan pemeriksaan di puskesmas, mereka pun mendatangi dokter-dokter spesialis; mulai dari spesialis THT, dokter gigi, hingga ahli penyakit dalam. Hasilnya sama saja. Semua dokter yang memeriksa tidak menemukan kelainan apa pun pada kesemuanya.
Mereka merasa gembira karena oleh semua dokter –mulai dari dokter puskesmas hingga dokter-dokter spesialis– di kota, mereka dinyatakan sehat. Setidak-tidaknya bau aneh dan busuk yang meruap di rumah mereka kemungkinan besar tidak berasal dari penyakit yang mereka idap. Namun ini tidak memecahkan masalah. Sebab bau aneh tak sedap itu semakin hari justru semakin menyesakkan dada. Mereka pun berembug kembali.
“Sebaiknya kita cari saja orang pintar;” usul kakek sambil menutup hidung, “siapa tahu bisa memecahkan masalah kita ini.”
“Paranormal, maksud kakek?” sahut salah seorang menantu sambil menutup hidung.
“Paranormal, kiai, dukun, atau apa sajalah istilahnya; pokoknya yang bisa melihat hal-hal yang gaib.”
“Ya, itu ide bagus,” kata ayah sambil menutup hidung mendukung ide kakek, “Jangan-jangan bau aneh tak sedap ini memang bersumber dari makhluk atau benda halus yang tidak kasat mata.”
“Memang layak kita coba,” timpal ibu sambil menutup hidung, “orang gede dan pejabat tinggi saja datang ke “orang pintar” untuk kepentingan pribadi, apalagi kita yang mempunyai masalah besar seperti ini.”
Ringkas kata akhirnya mereka beramai-ramai mendatangi seorang yang terkenal “pintar”. “Orang pintar” itu mempunyai banyak panggilan. Ada yang memanggilnya Eyang, Kiai, atau Ki saja. Mereka kira mudah. Ternyata pasien “orang pintar” itu jauh melebihi pasien dokter-dokter spesialis yang sudah mereka kunjungi. Mereka harus antre seminggu lamanya, baru bisa bertemu “orang pintar” itu. Begitu masuk ruang praktik sang Eyang atau sang Kiai atau sang Ki, mereka terkejut setengah mati. Tercium oleh mereka bau yang luar biasa busuk. Semakin dekat mereka dengan si “orang pintar” itu, semakin dahsyat bau busuk menghantam hidung-hidung mereka. Padahal mereka sudah menutupnya dengan semacam masker khusus. Beberapa di antara mereka sudah ada yang benar-benar pingsan. Mereka pun balik kanan. Mengurungkan niat mereka berkonsultasi dengan dukun yang ternyata lebih busuk baunya daripada mereka itu.
Keluar dari ruang praktik, mereka baru menyadari bahwa semua pasien yang menunggu giliran ternyata memakai masker. Juga ketika mereka keluar dari rumah sang dukun mereka baru ngeh bahwa semua orang yang mereka jumpai di jalan, ternyata memakai masker.
Mungkin karena beberapa hari ini seluruh perhatian mereka tersita oleh problem bau di rumah tangga mereka sendiri, mereka tidak sempat memperhatikan dunia di luar mereka. Maka ketika mereka sudah hampir putus asa dalam usaha mencari pemecahan problem tersebut, baru mereka kembali membaca koran, melihat TV, dan mendengarkan radio seperti kebiasaan mereka yang sudah-sudah. Dan mereka pun terguncang. Dari siaran TV yang mereka saksikan, koran-koran yang mereka baca, dan radio yang mereka dengarkan kemudian, mereka menjadi tahu bahwa bau aneh tak sedap yang semakin hari semakin menyengat itu ternyata sudah mewabah di negerinya.
Wabah bau yang tak jelas sumber asalnya itu menjadi pembicaraan nasional. Apalagi setelah korban berjatuhan setiap hari dan jumlahnya terus meningkat. Ulasan-ulasan cerdik pandai dari berbagai kalangan ditayangkan di semua saluran TV, diudarakan melalui radio-radio, dan memenuhi kolom-kolom koran serta majalah. Bau aneh tak sedap itu disoroti dari berbagai sudut oleh berbagai pakar berbagai disiplin. Para ahli kedokteran, ulama, aktivis LSM, pembela HAM, paranormal, budayawan, hingga politisi, menyampaikan pendapatnya dari sudut pandang masing-masing. Mereka semua –seperti halnya keluarga besar kita– mencurigai banyak pihak sebagai sumber bau aneh tak sedap itu. Tapi –seperti keluarga besar kita–tak ada seorang pun di antara mereka yang mencurigai dirinya sendiri.
Hingga cerita ini ditulis, misteri wabah bau aneh tak sedap itu belum terpecahkan. Tapi tampaknya sudah tidak merisaukan warga negeri –termasuk keluarga besar itu– lagi. Karena mereka semua sudah terbiasa dan menjadi kebal. Bahkan masker penutup hidung pun mereka tak memerlukannya lagi. Kehidupan mereka jalani secara wajar seperti biasa dengan rasa aman tanpa terganggu.

LEGENDA CANDI PRAMBANAN

Di dekat kota Yogyakarta terdapat candi Hindu yang paling indah di Indonesia. Candi ini dibangun dalam abad kesembilan Masehi. Karena terletak di desa Prambanan, maka candi ini disebut candi Prambanan tetapi juga terkenal sebagai candi Lara Jonggrang, sebuah nama yang diambil dari legenda Lara Jonggrang dan Bandung Bondowoso. Beginilah ceritanya. Konon tersebutlah seorang raja yang bernama Prabu Baka. Beliau bertahta di Prambanan. Raja ini seorang raksasa yang menakutkan dan besar kekuasaannya. Meskipun demikian, kalau sudah takdir, akhirnya dia kalah juga dengan Raja Pengging. Prabu Baka meninggal di medan perang. Kemenangan Raja Pengging itu disebabkan karena bantuan orang kuat yang bernama Bondowoso yang juga terkenal sebagai Bandung Bondowoso karena dia mempunyai senjata sakti yang bernama Bandung.
Dengan persetujuan Raja Pengging, Bandung Bondowoso menempati Istana Prambanan. Di sini dia terpesona oleh kecantikan Lara Jonggrang, putri bekas lawannya -- ya, bahkan putri raja yang dibunuhnya. Bagaimanapun juga, dia akan memperistrinya.
Lara Jonggrang takut menolak pinangan itu. Namun demikian, dia tidak akan menerimanya begitu saja. Dia mau kawin dengan Bandung Bondowoso asalkan syarat-syaratnya dipenuhi. Syaratnya ialah supaya dia dibuatkan seribu candi dan dua sumur yang dalam. Semuanya harus selesai dalam waktu semalam. Bandung Bondowoso menyanggupinya, meskipun agak keberatan. Dia minta bantuan ayahnya sendiri, orang sakti yang mempunyai balatentara roh-roh halus.
Pada hari yang ditentukan, Bandung Bondowoso beserta pengikutnya dan roh-roh halus mulai membangun candi yang besar jumlahnya itu. Sangatlah mengherankan cara dan kecepatan mereka bekerja. Sesudah jam empat pagi hanya tinggal lima buah candi yang harus disiapkan. Di samping itu sumurnya pun sudah hampir selesai.
Seluruh penghuni Istana Prambanan menjadi kebingungan karena mereka yakin bahwa semua syarat Lara Jonggrang akan terpenuhi. Apa yang harus diperbuat? Segera gadis-gadis dibangunkan dan disuruh menumbuk padi di lesung serta menaburkan bunga yang harum baunya. Mendengar bunyi lesung dan mencium bau bunga-bungaan yang harum, roh-roh halus menghentikan pekerjaan mereka karena mereka kira hari sudah siang. Pembuatan candi kurang sebuah, tetapi apa hendak dikata, roh halus berhenti mengerjakan tugasnya dan tanpa bantuan mereka tidak mungkin Bandung Bondowoso menyelesaikannya.
Keesokan harinya waktu Bandung Bondowoso mengetahui bahwa usahanya gagal, bukan main marahnya. Dia mengutuk para gadis di sekitar Prambanan -- tidak akan ada orang yang mau memperistri mereka sampai mereka menjadi perawan tua. Sedangkan Lara Jonggrang sendiri dikutuk menjadi arca. Arca tersebut terdapat dalam ruang candi yang besar yang sampai sekarang dinamai candi Lara Jonggrang. Candi-candi yang ada di dekatnya disebut Candi Sewu yang artinya seribu.

Sangkuriang

Pada jaman dahulu, tersebutlah kisah seorang puteri raja di Jawa Barat bernama Dayang Sumbi.Ia mempunyai seorang  anak laki-laki yang diberi nama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu.
spkr.gif (282 bytes)Ia berburu dengan ditemani oleh Tumang, anjing kesayangan istana. Sangkuriang tidak tahu, bahwa anjing itu adalah titisan dewa dan juga bapaknya.
Pada suatu hari Tumang tidak mau mengikuti perintahnya untuk mengejar hewan buruan. Maka anjing tersebut diusirnya ke dalam hutan.
spkr.gif (282 bytes)Ketika kembali ke istana, Sangkuriang menceritakan kejadian itu pada ibunya. Bukan main marahnya Dayang Sumbi begitu mendengar cerita itu. Tanpa sengaja ia memukul kepala Sangkuriang dengan sendok nasi yang dipegangnya. Sangkuriang terluka. Ia sangat kecewa dan pergi mengembara.
spkr.gif (282 bytes)Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali dirinya. Ia selalu berdoa dan sangat tekun bertapa. Pada suatu ketika, para dewa memberinya sebuah hadiah. Ia akan selamanya muda dan  memiliki kecantikan abadi.
spkr.gif (282 bytes)Setelah bertahun-tahun mengembara, Sangkuriang akhirnya berniat untuk kembali ke tanah airnya. Sesampainya disana, kerajaan itu sudah berubah total. Disana dijumpainya seorang gadis jelita, yang tak lain adalah Dayang Sumbi. Terpesona oleh kecantikan wanita tersebut maka, Sangkuriang melamarnya.  Oleh karena pemuda itu sangat tampan, Dayang Sumbi pun sangat terpesona padanya.
Pada suatu hari Sangkuriang minta pamit untuk berburu. Ia minta tolong Dayang Sumbi untuk merapikan ikat kepalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi demi melihat bekas luka di kepala calon suaminya. Luka itu persis seperti luka anaknya yang telah pergi merantau. Setelah lama diperhatikannya, ternyata wajah pemuda itu sangat mirip dengan wajah anaknya. Ia menjadi sangat ketakutan.
Maka kemudian ia mencari daya upaya untuk menggagalkan proses peminangan itu. Ia mengajukan dua buah syarat. Pertama, ia meminta pemuda itu untuk membendung sungai Citarum. Dan kedua, ia minta Sangkuriang untuk membuat sebuah sampan besar untuk menyeberang sungai itu. Kedua syarat itu harus sudah dipenuhi sebelum fajar menyingsing.
Malam itu Sangkuriang melakukan tapa. Dengan kesaktiannya ia mengerahkan mahluk-mahluk gaib untuk membantu menyelesaikan pekerjaan itu. Dayang Sumbi pun diam-diam mengintip pekerjaan tersebut. Begitu pekerjaan itu hampir selesai, Dayang Sumbi memerintahkan pasukannya untuk menggelar kain sutra merah di sebelah timur kota.
Ketika menyaksikan warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira hari sudah menjelang pagi. Ia pun menghentikan pekerjaannya. Ia sangat marah oleh karena itu berarti ia tidak dapat memenuhi syarat yang diminta Dayang Sumbi.
Dengan kekuatannya, ia menjebol bendungan yang dibuatnya. Terjadilah banjir besar melanda seluruh kota. Ia pun kemudian menendang sampan besar yang dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh menjadi sebuah gunung yang bernama "Tangkuban Perahu." 

Aryo Menak

Dikisahkan pada jaman Aryo Menak hidup, pulau Madura masih sangat subur. Hutannya sangat lebat. Ladang-ladang padi menguning.
     Aryo Menak adalah seorang pemuda yang sangat gemar mengembara ke tengah hutan. Pada suatu bulan purnama, ketika dia beristirahat dibawah pohon di dekat sebuah danau, dilihatnya cahaya sangat terang berpendar di pinggir danau itu. Perlahan-lahan ia mendekati sumber cahaya tadi. Alangkah terkejutnya, ketika dilihatnya tujuh orang bidadari sedang mandi dan bersenda gurau disana.
    Ia sangat  terpesona oleh kecantikan mereka. Timbul keinginannya untuk memiliki seorang diantara mereka. Iapun mengendap-endap, kemudian dengan secepatnya diambil sebuah selendang dari bidadari-bidadari itu.
   Tak lama kemudian, para bidadari itu selesai mandi dan bergegas mengambil pakaiannya masing-masing. Merekapun terbang ke istananya di sorga kecuali yang termuda. Bidadari itu tidak dapat terbang tanpa selendangnya. Iapun sedih dan menangis.    
Aryo Menak kemudian mendekatinya. Ia berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi. Ditanyakannya apa yang terjadi pada bidadari itu. Lalu ia mengatakan: "Ini mungkin sudah kehendak para dewa agar bidadari berdiam di bumi untuk sementara waktu. Janganlah bersedih. Saya akan berjanji menemani dan menghiburmu."
Bidadari itu rupanya percaya dengan omongan Arya Menak. Iapun tidak menolak ketika Arya Menak menawarkan padanya untuk tinggal di rumah Arya Menak. Selanjutnya Arya Menak melamarnya. Bidadari itupun menerimanya.
   Dikisahkan, bahwa bidadari itu masih memiliki kekuatan gaib. Ia dapat memasak sepanci nasi hanya dari sebutir beras. Syaratnya adalah Arya Menak tidak boleh menyaksikannya.
  Pada suatu hari, Arya Menak menjadi penasaran. Beras di lumbungnya tidak pernah berkurang meskipun bidadari memasaknya setiap hari. Ketika isterinya tidak ada dirumah, ia mengendap ke dapur dan membuka panci tempat isterinya memasak nasi. Tindakan ini membuat kekuatan gaib isterinya sirna.
   Bidadari sangat terkejut mengetahui apa yang terjadi. Mulai saat itu, ia harus memasak beras dari lumbungnya Arya Menak. Lama kelamaan beras itupun makin berkurang. Pada suatu hari, dasar lumbungnya sudah kelihatan. Alangkah terkejutnya bidadari itu ketika dilihatnya tersembul selendangnya yang hilang. Begitu melihat selendang tersebut, timbul keinginannya untuk pulang ke sorga. Pada suatu malam, ia mengenakan kembali semua pakaian sorganya. Tubuhnya menjadi ringan, iapun dapat terbang ke istananya.
   Arya Menak menjadi sangat sedih. Karena keingintahuannya, bidadari meninggalkannya. Sejak saat itu ia dan anak keturunannya berpantang untuk memakan nasi

Jumat, 01 Oktober 2010

MANIK ANGKERAN ASAL MULA SELAT BALI


Pada jaman dulu di kerajaan Daha hiduplah seorang Brahmana yang benama Sidi Mantra yang sangat terkenal kesaktiannya. Sanghyang Widya atau Batara Guru menghadiahinya harta benda dan seorang istri yang cantik. Sesudah bertahun-tahun kawin, mereka mendapat seorang anak yang mereka namai Manik Angkeran.

Meskipun Manik Angkeran seorang pemuda yang gagah dan pandai namun dia mempunyai sifat yang kurang baik, yaitu suka berjudi. Dia sering kalah sehingga dia terpaksa mempertaruhkan harta kekayaan orang tuanya, malahan berhutang pada orang lain. Karena tidak dapat membayar hutang, Manik Angkeran meminta bantuan ayahnya untuk berbuat sesuatu. Sidi Mantra berpuasa dan berdoa untuk memohon pertolongan dewa-dewa. Tiba-tiba dia mendengar suara, "Hai, Sidi Mantra, di kawah Gunung Agung ada harta karun yang dijaga seekor naga yang bernarna Naga Besukih. Pergilah ke sana dan mintalah supaya dia mau mernberi sedikit hartanya."

Sidi Mantra pergi ke Gunung Agung dengan mengatasi segala rintangan. Sesampainya di tepi kawah Gunung Agung, dia duduk bersila. Sambil membunyikan genta dia membaca mantra dan memanggil nama Naga Besukih. Tidak lama kernudian sang Naga keluar. Setelah mendengar maksud kedatangan Sidi Mantra, Naga Besukih menggeliat dan dari sisiknya keluar emas dan intan. Setelah mengucapkan terima kasih, Sidi Mantra mohon diri. Semua harta benda yang didapatnya diberikan kepada Manik Angkeran dengan harapan dia tidak akan berjudi lagi. Tentu saja tidak lama kemudian, harta itu habis untuk taruhan. Manik Angkeran sekali lagi minta bantuan ayahnya. Tentu saja Sidi Mantra menolak untuk membantu anakya

Manik Angkeran mendengar dari temannya bahwa harta itu didapat dari Gunung Agung. Manik Angkeran tahu untuk sampai ke sana dia harus membaca mantra tetapi dia tidak pernah belajar mengenai doa dan mantra. Jadi, dia hanya membawa genta yang dicuri dari ayahnya waktu ayahnya tidur.


Setelah sampai di kawah Gunung Agung, Manik Angkeran membunyikan gentanya. Bukan main takutnya ia waktu ia melihat Naga Besukih. Setelah Naga mendengar maksud kedatangan Manik Angkeran, dia berkata, "Akan kuberikan harta yang kau minta, tetapi kamu harus berjanji untuk mengubah kelakuanmu. Jangan berjudi lagi. Ingatlah akan hukum karma."

Manik Angkeran terpesona melihat emas, intan, dan permata di hadapannya. Tiba-tiba ada niat jahat yang timbul dalam hatinya. Karena ingin mendapat harta lebih banyak, dengan secepat kilat dipotongnya ekor Naga Besukih ketika Naga beputar kembali ke sarangnya. Manik Angkeran segera melarikan diri dan tidak terkejar oleh Naga. Tetapi karena kesaktian Naga itu, Manik Angkeran terbakar menjadi abu sewaktu jejaknya dijilat sang Naga.

Mendengar kernatian anaknya, kesedihan hati Sidi Mantra tidak terkatakan. Segera dia mengunjungi Naga Besukih dan memohon supaya anaknya dihidupkan kembali. Naga menyanggupinya asal ekornya dapat kembali seperti sediakala. Dengan kesaktiannya, Sidi Mantra dapat memulihkan ekor Naga. Setelah Manik Angkeran dihidupkan, dia minta maaf dan berjanji akan menjadi orang baik. Sidi Mantra tahu bahwa anaknya sudah bertobat tetapi dia juga mengerti bahwa mereka tidak lagi dapat hidup bersama.

"Kamu harus mulai hidup baru tetapi tidak di sini," katanya. Dalam sekejap mata dia lenyap. Di tempat dia berdiri timbul sebuah sumber air yang makin lama makin besar sehingga menjadi laut. Dengan tongkatnya, Sidi Mantra membuat garis yang mernisahkan dia dengan anaknya. Sekarang tempat itu menjadi selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dengan pulau Bali.

Burung Jelita


Pagi-pagi buta aku sudah terbangun oleh dering handphoneku yang senada ketika ia berputar bergesekan dengan meja. Sungguh mengesalkan terbangun seperti itu. Aku berusaha tidak mengubrisnya tapi percuma. Telepon itu dari Sinta. Dan kalau tidak aku angkat, maka mampuslah aku. Jadi aku angkat telepon itu, dengan benar-benar enggan.
“Halo?”
“Banguun, Say. Kau tidak lupa janji kita, kan?” kata Sinta, bertepatan dengan saat aku mengeluarkan uap panjangku.
“Apa? Oh, iya. Tentu saja. Aku, err..dalam perjalanan kesana.” Bohong.
“Bohong. Aku dengar tadi kau menguap. Sudah kamu di situ saja. Biar aku yang kesana.”

Sinta memutuskan hubungan. Sepertinya ia sedang berada di dalam bus. Sungguh berisik. Begitulah bus kota. Dan itulah kenapa aku lebih memilih naik sepeda. Kadang Sinta mewanti-wanti supaya aku mau sekali-kali naik bus. Katanya ia sulit melihatku belakangan ini. Tentu aku naik bus sekali-kali. Tapi tidak setiap kali. Banyak kejahatan terjadi di dalam bus. Dan kasus kecelakaan juga. Sepeda? Hampir tidak pernah.
Aku mengambil handukku dan 15 menit kemudian sudah berpakaian lengkap. Yaa, lebih lambat dari biasanya. Aku masih setengah tertidur. Semalam aku naik ranjang jam 3. Kerjaan betul-betul menumpuk dan satu-satunya hari liburku harus kuhabiskan bersama Sinta. Apa yang lebih buruk dari semua ini? Aku pikir, bisa-bisa aku pensiun dini.
Kuhirup aroma pagi dari setiap sudut jalan. Berpura-pura kalau itu membuatku segar kembali. Dan iya, aku merasa segar sedikit. Dengan sedikit hirupan kopi Espresso tentunya. Aku tidak ingin Sinta ke apartemenku. Kasihan dia. Jarak dari rumahnya ke apartemenku sangat jauh. Dan tempat di mana kami akan kencan berada ditengah-tengahnya. Aku pun merogoh handphoneku dan berjalan menuju sepedaku. Lokasi apartemen ini begitu asri. Banyak pohon dimana-mana. Sedikit mobil dan motor. Ada Buck`s Cafe di perempatan. Sekolah Taman Kanak-Kanak. Tempat parkir. Aku senang di sini. Begitu pula Sinta. Ia sering menginap di apartemenku. Dan begitu kami menikah, ia bilang ingin kami tinggal disini dan menyekolahkan anak kami di sekolah taman kanak-kanak itu. Aku tertawa. “Kau mengkhayal,” aku bilang.
Dia memasang muka terkejut dan marah. “Apa? Jadi kau tidak mau menikah denganku?”
“Kau pikir aku mau menikah dengan perempuan sok ngatur sepertimu?” godaku.
“Oo, lihat saja. Kalau sudah menikah aku bisa kok jadi istri yang penurut.”
“Heh, nada bicaramu seperti kebalikannya.”

Dia mencubit perutku. Saat itu aku sudah punya firasat untuk mengajak Sinta berumah tangga. Tapi aku belum siap. Entah kenapa. Cuma belum siap untuk menikah.
“Om,” panggil seseorang.

Aku mengambil kunci sepedaku dan sedang betul-betul kesal kenapa teleponku tidak diangkat.
“Mas? Pak? Nak?”

Aku menoleh. Seorang pedagang keliling melihatku sambil tersenyum. Pedagang Cina. Aku bisa lihat giginya yang hampir habis dari senyumannya itu. Ia menjual dupa, yang biasa dipakai etnis TiongHoa untuk sembahyang.
“Maaf, er…Kek. Aku tidak pakai dupa,” kataku, mencoba membuka gembok sepeda, dan mencoba menelepon Sinta.

“Heh Nak, kamu bisa menolongnya?”
“Hah?”

Aku membalikkan badan dan melihat lagi gigi yang sudah hampir habis itu. Tapi yang punya gigi terus tersenyum dan beranjak pergi. Apa maksudnya? Sebelum aku mengerti maksudnya dan berusaha dalam membuka gembok sepedaku, aku baru menyadari kalau ada seorang anak perempuan kecil tengah menangis. Ia terjatuh dari sepedanya dan terus memanggil-manggil Mama. Aku menghampirinya.

“Hai,” sapaku. Aku tidak terlalu pandai dalam meladeni anak kecil. “Kau terluka.” Ia tetap menangis.
“Sini, Kakak bantu. Kakak antar kamu ke dalam sekolah, ya?! Guru UKS bisa merawatmu. Dan mungkin mamamu sudah menunggu di dalam,” kataku seraya membantunya berdiri. Saat itu teleponku berdering.
“Man, kamu tadi menelepon?” dari Sinta. Ia masih di dalam bus.

“Ratusan. Kenapa tidak angkat?” Aku balik bertanya.
“Ah, tidak kedengaran. Kau tahu ramainya didalam bus ko-, ups, mana kamu tahu ya?” Ia tertawa. “Tunggu sebentar lagi aku akan sampai.”
“Err, Sin, kamu tidak usah ke sini. Aku sudah siap dari tadi. Kita ketemu di sana aja, OK?”
“Ow, begitu. Ya sudah. Ketemu disana, ya. Kasih sinyal kalau sudah sampai. Soalnya kamu tidak kelihatan. Haha…” Telepon putus.
“Pacar ya, Kak?” tanya perempuan tadi. Aku mengangguk. Tersenyum melihat anak perempuan ini. Paling dia masih duduk di TK kecil. Tapi sudah tahu istilah pacar. Nanti kalau SMP sudah tahu ‘istri’ atau ’suami’. SMA sudah tahu sex. Dan di bangku kuliah sudah menikah. Err…darimana datangnya pikiran ini?! Anak semanis ini, dan berpikir yang macam-macam tentangnya? Aku langsung mengantarnya ke ruang UKS dan kembali ke tempat parkir secepatnya. Anggap saja pikiran tadi tidak pernah ada. Tidak pernah ada.

Aku mengayuh sepedaku melintasi jalanan aspal, mobil, motor, dan asap yang beserta mereka. Aku tidak suka bau asap. Tapi aku suka rokok. Dan sepanjang hubunganku dengan Sinta, ‘rokok’ adalah topik terpanjang yang pernah kami bahas, dengan debat panjang.
Aku tiba di tujuan. Sebuah kebun binatang. Ini merupakan tempat paling pas untuk mengingat kenangan indah. Yaa, disini aku pertama kali menembak Sinta. Di depan kandang orang utan.

“Sekarang kau seperti dia, kau tahu?” katanya waktu aku selesai mengucapkan isi hatiku.
“Dia?” tanyaku. “Wah, jadi sulit untuk kamu menerima aku kalau begitu.”
“Yaa, kalau dia sih aku mau.”
Aku melihat jam tanganku lalu mengecek lagi keberadaan Sinta di sekitar. Aneh, harusnya dia duluan yang sampai. Aku meraih HP dan mencoba meneleponnya tapi tidak diangkat. Mungkin masih di bus. Jadi aku mengambil tempat duduk di bangku pengunjung dan menyulut sebatang rokok. Tidak lama telepon berdering. Aku meraihnya namun mataku mencari-cari keberadaan Sinta. Jangan sampai ia melihatku dengan rokok.
“Halo, Sin. Kamu dimana?” tanyaku langsung.
“Nak Herman? Kamu, Nak?” Mamanya Sinta.
“Oh, Tante. Iya Tante, ini saya.” Nada bicaraku langsung berubah. “Ada apa, Tante?”
Ia menangis. Sesuatu terjadi.
“Nak Herman, sekarang Tante di rumah sakit.” Ia berhenti. Menangis. “Sinta,…Dia kecelakaan.” Kali ini ia benar-benar berhenti bicara dan tangisannya membahana hingga aku bisa mendengar orang-orang di sekitarnya yang berusaha menenangkan. Aku sendiri terpaku. Baru saja aku bisa bergerak dan hendak menyambar sepedaku ketika tiba-tiba suara Arya terdengar dari telepon yang belum putus tadi.

“Kak Herman? Kakak masih di situ? Kak?”
“Arya. Arya, Kakak masih disini,” jawabku.
“Kami di RS ZZX. Segeralah ke sini, Kak. Kak Sinta butuh Kakak.”
“Iya, Kakak segera ke situ.” Aku memutuskan hubungan dan langsung menduduki sepedaku.

KRING
Teleponku berbunyi lagi. Aku menyambarnya dan siapapun ini aku betul-betul tidak ada mood untuk berbasa-basi.
“Halo?” kataku dengan tergesa-gesa, bersiap memutuskan hubungan kalau aku rasa ini tidak penting.
“Halo? Man? Kenapa kamu? Dikejar anjing?” Suara tertawa dari seberang. Suara tawa yang biasa aku dengar. Awalnya aku merasa seperti jatuh ke jurang dan tubuhku mengambang dalam perjalanannya turun. Tapi sekarang aku seperti terbang. Atau mengambang.

“Sinta? Ini Sinta?” tanyaku tidak percaya.
“Tok. Tok. Halooo, sudah tidak kenal suaraku lagi? Mau aku tinju, hah?!”
“Tapi, tadi mamamu telepon…”
“Oh, mamaku telepon? Kenapa? Eh, di mana kamu? Kenapa tidak ketemu saja? Aku sudah sampai, nih. Dasar. Awas kalau gelayapan dulu sebelum aku.”
Aku diam tanpa kata-kata. Ini Sinta. Dan tadi mamanya menyampaikan berita yang menyayat hatiku sangat dalam. Tapi ini dia. Dan dia disini.
“Di mana kamu?” tanyaku mencari-cari.
“Di pintu masuk,” jawabnya. “Aku di pintu masuk.”

“Tidak ada. Aku tepat di pintu masuk. Di bangku pengunjung.”
“Ha-ha. Very funny. Kau tahu?! Sekarang aku sedang duduk di bangku pengunjung dengan lemper di tanganku. Dan kalau kau tidak muncul, lempermu juga ikutan masuk ke perutku. Aam…”

“Serius, Sin! Aku serius. Aku juga di bangku pengunjung. Tadi mamamu menelepon..”
“Dan?”
“Dia bilang kau kecelakaan dan sekarang sedang berada di rumah sakit.”

Aku diam sejenak. Menunggu reaksi Sinta. Hening. Sinta tidak berkata apa-apa. Aku pikir dia juga pasti shock dan terheran-heran.

“Sin?” panggilku. “Sinta? Kau di situ?”
“Ya Tuhan, Herman!” Ia histeris. Entah apa yang terjadi tapi dia panik. Oh Tuhan, seandainya aku disebelahnya.
“Herman! Herman!” Sinta memanggil-manggilku. Suaranya seperti hendak menangis.
“Sin, Sinta, aku di sini. Tenang. Kita cari tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Aku berusaha menenangkannya. Tapi dia justru terdengar semakin gugup.

“Tidak, Man. Man, aku.., ini.., Herman..” Ia mulai menangis.
“Sinta, apa yang terjadi?”
“Oooh, Tuhan. Herman, keluarkan aku dari sini.” pintanya.
“Sinta, apa yang terjadi? Di mana kamu?”
“Aku di sini. Aku…aku…” Ia terisak. “Begitu kau bilang soal kecelakaan, aku baru teringat. Bus yang aku tumpangi, entah bagaimana, bus itu seperti meledak. Awalnya seperti gempa. Lalu api di mana-mana. Kemudian semua kembali seperti normal.”

“Apa maksudmu kembali seperti normal?”
“Semuanya kembali normal. Kau tidak mengerti? Semuanya kembali, aku di dalam bus, lalu semua orang. Semuanya normal. Seolah semua gempa dan ledakan itu tidak pernah ada.”
“Lalu di mana kamu sekarang, Sin? Di mana semuanya?”
“Justru itu, Man.” Sinta mulai menangis. Dan ia ketakutan. “Tidak ada siapa-siapa di sini,” katanya.

Aku pun tidak tahu harus bagaimana. Tapi aku menyuruh Sinta untuk tenang, di sana. Handphone masih aku nyalakan. Satu persatu orang yang lewat di sekitar situ aku dekati dan aku berusaha menceritakan sesingkat dan sedetail mungkin. Namun mereka semua mengira aku gila. Siapa yang bisa aku mintai tolong? Bergunakah untuk berdoa di saat seperti ini? Ya, aku menyuruh Sinta berdoa. Sedang aku seperti orang gila kesana kemari mencari pertolongan.
“Man? Herman? Kau disitu?” panggil Sinta. Aku buru-buru mendekati handphoneku ke telinga.

“Ya, Sin. Aku masih di sini.”
“Aku takut, Man.”
“Ya, aku tahu, Sin. Aku sedang mencari pertolongan.”
“Menurutmu siapa yang bisa menolong kita sekarang?” Pertanyaan itu tidak bisa aku jawab. Tapi Sinta pasti sangat ketakutan hingga melontarkannya.

“Entahlah, Sin. Aku tidak tahu. Mungkin seorang cenayang atau dukun.”
“Aku tidak mau dukun. Kau tidak tahu kalau dukun itu pakai ilmu hitam? Sekali terjerat, kau pasti masuk neraka.”

Ya, ini benar-benar kamu, Sin. Aku sih rela masuk neraka asal kau keluar dari situ. Kalau bukan dukun atau cenayang, lalu siapa? Orang tua itu. Pikiranku terlintas oleh bayangan seorang kakek-kakek Cina penjual dupa. Aku bertemu dengannya tadi pagi.
“Kau bisa menolongnya,” katanya. Aku merasa ada harapan yang muncul. Tidak ada yang bisa menolong kami saat ini. Setidaknya aku harus mencoba orang tua ini.
“Sin, aku harus pergi. Kau tetap di situ, di sini. Tetap nyalakan teleponmu.”
“Kau mau kemana, Man? Aku takut.”
“Tetaplah di situ, OK? Aku mencoba mengeluarkanmu dari situ.”

Aku pun pergi mengayuhkan sepedaku kembali ke apartemenku. Apa ia masih disitu? pikirku. Semoga saja. Oh, Tuhan, semoga ia masih disitu. Kalau memang ia yang bisa membantu, Tuhan tolonglah. Entah bagaimana, tapi aku menangis. Sudah lama sekali aku tidak menangis. Rasanya seperti…. entah bagaimana mendiskripsikannya, rasanya seperti, hidup.

Aku tiba di halaman parkir di depan apartemenku. Aku melihat tempat di mana aku melihat orang tua cina itu. Ia tidak disitu. Juga disekitarnya. Ia tidak di mana pun di sekitar itu. Aku mencarinya di dalam lapangan parkir, di sekolah, di setiap sudut apartemen yang memungkinkan seorang gembel mengungsi disitu, tapi dia tidak ada. Aku mulai putus asa. Hampir saja aku membanting handphone di tanganku begitu aku sadar cuma itu yang menghubungkan aku dengan Sinta saat ini. Oh, Tuhan, cuma ini yang menghubungkan aku dengannya. Itu pun entah sampai kapan.
“Kak, kau sudah pulang?” Anak perempuan yang tadi. Kakinya sudah diperban.
“Ya, Kakak ada sedikit masalah,” jawabku. “Kau tahu, kakek yang tadi pagi lewat sini? Orang Cina. Kau lihat dia?”
“Tidak,” jawabnya. Lalu ia diam dan meraih sesuatu dari saku celananya. “Seseorang menyuruhku memberi Kakak ini. Ia bilang aku akan ditraktir es krim setelah ini.”
“Ia bilang akan kembali mentraktirmu es krim itu, begitu?”
“Tidak. Kakak yang mentraktirku es krim,” pintanya dengan merajuk.

Aku mengambil secarik kertas dari tangannya dan membukanya perlahan-lahan.

Kesempatan cuma datang sekali. Dan sekali kau kehilangannya, kau kehilangan selamanya.

Aku melipat kembali kertas itu. Entah apa maksudnya tapi aku merasakan dadaku semakin berat. Lututku lemas hingga aku berlutut ke bawah. Dan begitu beratnya dadaku, aku menangis dan dari mulutku aku meraung. Aku tidak mengerti kalimat itu tapi aku merasa seolah-olah hidup tengah menghukumku. Aku mengangkat handphoneku namun layarnya hitam. Batereinya habis. Habis sudah satu-satunya penghubungku dengan Sinta. Aku meraih sepedaku dan bergegas menuju rumah sakit.

Arya dan mamanya menyambutku dengan mata sembab dan basah. Sinta di dalam sana. Ratusan selang terhubung di tubuhnya dan ia begitu tenang. Aku duduk di sebelahnya, memegang tangannya yang dingin. Suster bilang aku cuma punya waktu 5 menit. Tapi apa yang akan aku lakukan dalam waktu 5 menit? Aku tidak tahu harus berkata apa. Apa ia mendengar? Apa ia tahu aku disini? Apa ia tahu kalau aku menangis? Pliiss, kalau kau mau, ejek aku, ejek saja. Aku menangis. Sinta, aku menangis. Bilang aku seperti orang utan. Monyet yang cengeng. Apa saja. Tapi jangan diam seperti ini. Plis, bangunlah. Kumohon. Tuhan, aku mohon. Tanpa sadar mataku pun banjir oleh air mata dan aku sulit mengontrol isakanku.

Suster pun datang mengatakan bahwa waktuku telah habis. Tapi aku memohon kepadanya untuk memberiku waktu 1 menit saja. Aku ingin mengucapkan sesuatu yang ingin sekali aku katakan padanya dari dulu. Maka aku pegang tangannya. Kudekatkan bibirku ke telinganya, memastikan ia mendengar ucapanku meski berada jauh disana.

“Sinta, demi seribu burung jelita yang terbang di angkasa, kumohon menikahlah denganku.”
Tiba-tiba sesuatu terjadi. Entah bagaimana menjelaskan perubahan suasana ini. Televisi di dalam ruangan tersebut mengeluarkan bunyi tit yang berbeda dari sebelumnya. Di layarnya terdapat kurva-kurva yang tidak aku mengerti. Dan saat itu jari Sinta bergerak. Kecil, tapi aku merasakannya di tangannku. Dan suster masuk dan mendepakku keluar. Lalu beberapa dokter pun masuk. Dan kemudian semuanya serba tidak aku mengerti. Yang aku mengerti 2 hari kemudian ketika aku mengunjugi rumah sakit ini lagi.

2 hari kemudian

“Hai, Tuan Puteri Yang Tidak Mau Keluar dari Rumah Sakit,”
“Haii. Bunga lagi? Punya duit ya buat beli bunga?”
“Buat kamu apa sih yang tidak ?”
“Haha, gombalnya keluar. Aku bukan 3 tahun yang lalu, yang mudah termakan gombalan kamu.”
“Ya iyalah. Tiga tahun lalu aku makan, 2 tahun lalu aku cerna, ya ini, sekarang tinggal ampasnya. Haha.”
“Sialaan. Berani ya bilang aku ampas. Tak cubit perutmu lagi. Sini!”
“Mau apa?”
“Cubit perutmu.”
“Kamu kira aku bodoh mau-maunya dicubit?”
“Emang kan. Sini.” Aku mendekatinya. Duduk disebelahnya. Sinta mencubitku tapi pelan. Lalu ia mengusap leherku dan menciumku di situ. Aku balas menciumnya. Saat itu aku melihat hartaku yang paling berharga.
“Kau tahu, Man?”
“Ya?”
“Aku kangen cerita tentang seribu burung jelita.” Ia tersenyum. Senyum yang biasa aku lihat.
“Siapa yang menceritakan itu padamu?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Entah. Kupikir kau bisa menceritakannya padaku.”

CINDE LARAS

Raden Putra adalah raja Kerajaan Jenggala. Ia didampingi seorang permaisuri yang baik hati dan seorang selir yang cantik jelita. Tetapi, selir Raja Raden Putra memiliki sifat iri dan dengki terhadap sang permaisuri. Ia merencanakan suatu yang buruk kepada permaisuri. “Seharusnya, akulah yang menjadi permaisuri. Aku harus mencari akal untuk menyingkirkan permaisuri,” pikirnya.
Selir baginda, berkomplot dengan seorang tabib istana. Ia berpura-pura sakit parah. Tabib istana segera dipanggil. Sang tabib mengatakan bahwa ada seseorang yang telah menaruh racun dalam minuman tuan putri. “Orang itu tak lain adalah permaisuri Baginda sendiri,” kata sang tabib. Baginda menjadi murka mendengar penjelasan tabib istana. Ia segera memerintahkan patihnya untuk membuang permaisuri ke hutan.
Sang patih segera membawa permaisuri yang sedang mengandung itu ke hutan belantara. Tapi, patih yang bijak itu tidak mau membunuhnya. Rupanya sang patih sudah mengetahui niat jahat selir baginda. “Tuan putri tidak perlu khawatir, hamba akan melaporkan kepada Baginda bahwa tuan putri sudah hamba bunuh,” kata patih. Untuk mengelabui raja, sang patih melumuri pedangnya dengan darah kelinci yang ditangkapnya. Raja menganggung puas ketika sang patih melapor kalau ia sudah membunuh permaisuri.
Setelah beberapa bulan berada di hutan, lahirlah anak sang permaisuri. Bayi itu diberinya nama Cindelaras. Cindelaras tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan tampan. Sejak kecil ia sudah berteman dengan binatang penghuni hutan. Suatu hari, ketika sedang asyik bermain, seekor rajawali menjatuhkan sebutir telur. “Hmm, rajawali itu baik sekali. Ia sengaja memberikan telur itu kepadaku.” Setelah 3 minggu, telur itu menetas. Cindelaras memelihara anak ayamnya dengan rajin. Anak ayam itu tumbuh menjadi seekor ayam jantan yang bagus dan kuat. Tapi ada satu keanehan. Bunyi kokok ayam jantan itu sungguh menakjubkan! “Kukuruyuk… Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra…”

Legenda Candi Prambanan

Alkisah, pada dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar yang bernama Prambanan. Rakyatnya hidup tenteran dan damai. Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Kerajaan Prambanan diserang dan dijajah oleh negeri Pengging. Ketentraman Kerajaan Prambanan menjadi terusik. Para tentara tidak mampu menghadapi serangan pasukan Pengging. Akhirnya, kerajaan Prambanan dikuasai oleh Pengging, dan dipimpin oleh Bandung Bondowoso.
Bandung Bondowoso seorang yang suka memerintah dengan kejam. “Siapapun yang tidak menuruti perintahku, akan dijatuhi hukuman berat!”, ujar Bandung Bondowoso pada rakyatnya. Bandung Bondowoso adalah seorang yang sakti dan mempunyai pasukan jin. Tidak berapa lama berkuasa, Bandung Bondowoso suka mengamati gerak-gerik Loro Jonggrang, putri Raja Prambanan yang cantik jelita. “Cantik nian putri itu. Aku ingin dia menjadi permaisuriku,” pikir Bandung Bondowoso.
Esok harinya, Bondowoso mendekati Loro Jonggrang. “Kamu cantik sekali, maukah kau menjadi permaisuriku ?”, Tanya Bandung Bondowoso kepada Loro Jonggrang. Loro Jonggrang tersentak, mendengar pertanyaan Bondowoso. “Laki-laki ini lancang sekali, belum kenal denganku langsung menginginkanku menjadi permaisurinya”, ujar Loro Jongrang dalam hati. “Apa yang harus aku lakukan ?”. Loro Jonggrang menjadi kebingungan. Pikirannya berputar-putar. Jika ia menolak, maka Bandung Bondowoso akan marah besar dan membahayakan keluarganya serta rakyat Prambanan. Untuk mengiyakannya pun tidak mungkin, karena Loro Jonggrang memang tidak suka dengan Bandung Bondowoso.
“Bagaimana, Loro Jonggrang ?” desak Bondowoso. Akhirnya Loro Jonggrang mendapatkan ide. “Saya bersedia menjadi istri Tuan, tetapi ada syaratnya,” Katanya. “Apa syaratnya? Ingin harta yang berlimpah? Atau Istana yang megah?”. “Bukan itu, tuanku, kata Loro Jonggrang. Saya minta dibuatkan candi, jumlahnya harus seribu buah. “Seribu buah?” teriak Bondowoso. “Ya, dan candi itu harus selesai dalam waktu semalam.” Bandung Bondowoso menatap Loro Jonggrang, bibirnya bergetar menahan amarah. Sejak saat itu Bandung Bondowoso berpikir bagaimana caranya membuat 1000 candi. Akhirnya ia bertanya kepada penasehatnya. “Saya percaya tuanku bias membuat candi tersebut dengan bantuan Jin!”, kata penasehat. “Ya, benar juga usulmu, siapkan peralatan yang kubutuhkan!”
Setelah perlengkapan di siapkan. Bandung Bondowoso berdiri di depan altar batu. Kedua lengannya dibentangkan lebar-lebar. “Pasukan jin, Bantulah aku!” teriaknya dengan suara menggelegar. Tak lama kemudian, langit menjadi gelap. Angin menderu-deru. Sesaat kemudian, pasukan jin sudah mengerumuni Bandung Bondowoso. “Apa yang harus kami lakukan Tuan ?”, tanya pemimpin jin. “Bantu aku membangun seribu candi,” pinta Bandung Bondowoso. Para jin segera bergerak ke sana kemari, melaksanakan tugas masing-masing. Dalam waktu singkat bangunan candi sudah tersusun hampir mencapai seribu buah.
Sementara itu, diam-diam Loro Jonggrang mengamati dari kejauhan. Ia cemas, mengetahui Bondowoso dibantu oleh pasukan jin. “Wah, bagaimana ini?”, ujar Loro Jonggrang dalam hati. Ia mencari akal. Para dayang kerajaan disuruhnya berkumpul dan ditugaskan mengumpulkan jerami. “Cepat bakar semua jerami itu!” perintah Loro Jonggrang. Sebagian dayang lainnya disuruhnya menumbuk lesung. Dung… dung…dung! Semburat warna merah memancar ke langit dengan diiringi suara hiruk pikuk, sehingga mirip seperti fajar yang menyingsing.
Pasukan jin mengira fajar sudah menyingsing. “Wah, matahari akan terbit!” seru jin. “Kita harus segera pergi sebelum tubuh kita dihanguskan matahari,” sambung jin yang lain. Para jin tersebut berhamburan pergi meninggalkan tempat itu. Bandung Bondowoso sempat heran melihat kepanikan pasukan jin.
Paginya, Bandung Bondowoso mengajak Loro Jonggrang ke tempat candi. “Candi yang kau minta sudah berdiri!”. Loro Jonggrang segera menghitung jumlah candi itu. Ternyata jumlahnya hanya 999 buah!. “Jumlahnya kurang satu!” seru Loro Jonggrang. “Berarti tuan telah gagal memenuhi syarat yang saya ajukan”. Bandung Bondowoso terkejut mengetahui kekurangan itu. Ia menjadi sangat murka. “Tidak mungkin…”, kata Bondowoso sambil menatap tajam pada Loro Jonggrang. “Kalau begitu kau saja yang melengkapinya!” katanya sambil mengarahkan jarinya pada Loro Jonggrang. Ajaib! Loro Jonggrang langsung berubah menjadi patung batu. Sampai saat ini candi-candi tersebut masih ada dan disebut Candi Loro Jonggrang. Karena terletak di wilayah Prambanan, Jawa Tengah, Candi Loro Jonggrang dikenal sebagai Candi Prambanan
Sumber: e-smartschool.com