Senin, 18 Maret 2013

Kentut Pertanda Sehat

Sudahkah Anda kentut minimal 16 kali dalam sehari? Sebagian besar masyarakat Indonesia sering memandang remeh perihal buang angin atau yang sering disebut kentut. “Dentuman” ini hanya dianggap sebagai sebuah siklus metabolisme tubuh yang tak jarang malah membuat malu. Sehingga jarang temui orang yang ingin mengkajinya secara ilmiah.Walaupun “sepele” sebenarnya terbentuknya kentut didalam tubuh melalui sebuah proses yang cukup panjang. Dari kacamata medis, kentut sebenarnya adalah gas dalam jumlah berlebih dari dalam tubuh yang dikeluarkan melalui anus. Berdasarkan penelitian yang dilakukan para ahli, volume kentut yang diproduksi manusia normal bervariasi antara 400 sampai 1600 milileter per hari. Sedang frekuensi yang masih dianggap normal sekitar 14 kali sehari. DR.Dr. Siti Setiati, SpPD, K-Ger, MEpid, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta mengatakan, ada beberapa faktor yang disebut sebagai faktor resiko yang menentukkan volume, frekuensi dan komposisi kentut. “Pembentukkan gas dalam tubuh ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya usia seseorang, adanya tekanan jiwa, obat-obatan tertentu seperti antibiotika, dan pola makan seseorang,” kata Siti kepada Jurnal Nasional, Kentut terdiri dari lima komponen gas yaitu, nitrogen, oksigen, hidrogen, methane, dan karbondioksida. Namun kentut yang menimbulkan bau disusun oleh komponen yang berbeda yaitu skatol, indol, hidrogen, sulfida, amines dan asam-asam lemak rantai pendek. Gas-gas ini walaupun terdapat dalam jumlah kecil, dapat menimbulkan bau yang menusuk hidung. Bau yang menusuk ini akan lebih dipertajam lagi kalau makanan yang dikonsumsi berbau tajam seperti pete, jengkol dan sebagainya. Perempuan kelahiran Bandung, 15 Oktober 1961 ini mengatakan, pola makan adalah faktor dominan yang menentukkan pembentukkan gas dalam tubuh. “Makanan yang pedas, asam dapat meransang pembentukkan gas dalam tubuh,” ujar Siti. Dihubungi secara terpisah, Prof. Dr.dr Daldiyono Sp.PD., KGEH, spesialis gastroenterologi dari RS St. Carolus, Jakarta menjelaskan, di dalam usus besar (colon) manusia terdapat banyak kuman. Nah, kata Daldiyono, agar dapat bertahan hidup, kuman-kuman tersebut perlu makan. Kemudian, lanjut pria yang telah 40 tahun mengabdi sebagai dokter itu, kuman-kuman itu memanfaatkan sisa-sisa makanan yang ada di dalam usus besar ini sebagai makanan untuknya. “Lalu, terjadilah fermentasi dan sebagai akibatnya terbentuklah sejumlah gas. Oleh sebab itu agama menganjurkan untuk tidak makan secara berlebih,” ujar lulusan Fakultas Kedokteran UI tahun 1966 ini. Penulis buku Bagaimana Dokter Berpikir dan Bekerja dan novel Lika-liku Kehidupan ini menegaskan, semakin banyak makanan mengandung bahan yang tidak dapat dicerna usus, maka semakin banyak terjadi fermentasi oleh bakteri dan produksi gas meningkat. Makanan yang sulit dicerna oleh usus manusia adalah selulosa, stakiosa dan rafinosa. Selulosa merupakan dinding sel tumbuh-tumbuhan, sementara stakiosa dan rafiosa, banyak terdapat pada kacang merah. Selain itu, ada sebagian orang tubuhnya tidak mampu untuk mencerna berbagai macam produk-produk susu seperti keju, krim asam dan susu kental. “Walaupun demikian sayur dan buah memiliki vitamin dan mineral yang dibutuhkan tubuh,” tutur Daldiyono. Daldiyono mengatakan, selain melalui mekanisme fermentasi gas yang masuk kedalam tubuh juga bisa berasal dari udara luar. Udara itu biasanya masuk karena kebiasaan mengunyah permen karet, pemasangan gigi palsu yang kurang tepat dan merokok. Bentuk mekanisme lain masuknya gas kedalam tubuh yaitu merembes melalui aliran darah (difusi). Namun mekanisme ini tidak umum dan hanya bersifat kasuistis misalnya pada pendaki gunung dan para astronot. Selain faktor fisiologis dan lingkungan, ternyata faktor psikologis seperti tekanan jiwa juga berperan menimbulkan berlebihnya produksi gas di dalam usus. Siti memaparkan, jika seseorang yang dalam keadaan tertekan maka produksi asam lambung akan meningkat. Selain itu, ketika orang dalam keadaan tertekan waktu yang dibutuhkan saluran cerna untuk melewatkan makanan dari mulut sampai anus lebih cepat. Akibatnya akan lebih banyak makanan yang tidak dicerna masuk ke dalam usus besar sebagai bahan untuk fermentasi bakteri. Bahkan tekanan jiwa akan menyebabkan tertelannya udara secara berlebihan (aerophagia). “Biasanya kalau tertekannya berupa sedih maka dia akan merasa kembung, kalau dia merasa khawatir maka akan merasa mual,” kata Daldiyono. Meski terkesan sederhana, peningkatan produksi gas dalam tubuh juga dapat mengindikasikan penyakit serius seperti gangguan penyerapan makanan (sindroma malabsorpsi), diare kronik yang disebabkan oleh parasit jenis tertentu (giardiasis), tukak lambung (ulkus peptikum), dan batu kandung empedu (kolelitiasis).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar