Kamis, 18 November 2010

Merapi, Letusan Terbesar dalam Sejarah Republik


Jika dihitung sejak ditetapkan status awas pada Jumat (22/11/2010), sudah hampir tiga pekan Gunung Merapi yang berada di Jawa Tengah dan DIY, bergolak. Letusan besar pertama gunung berketinggian 2.968 meter dari permukaan laut tersebut, terjadi pada Selasa (26/11/2010). Setelah itu, letusan berhenti, namun aktivitas tetap tinggi. Sepanjang Rabu (3/11/2010) hingga Minggu (7/11/2010) Merapi terus meletus, menyeburkan awan panas dan memuntahkan material volkanik.

Letusan yang terjadi pada Kamis (4/11/2010) malam, hingga keesokan harinya itu dikatakan lebih kuat dibanding letusan yang terjadi pada Selasa (26/11/2010). Bahkan letusan yang terjadi pada Jumat (5/11/2010) disebut sebagai letusan terbesar sejak 1930. Pada tahun itu Merapi meletus hingga menewaskan 1.400 orang.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis jumlah total korban tewas Merapi untuk sementara mencapai 116 orang. Dengan rincian,di Sleman 104 orang, Magelang 7 orang, Klaten 2 orang, dan Boyolali 3 orang. Jumlah tersebut belum termasuk 4 relawan yang tewas saat melakukan evakuasi. Sementara korban luka tercatat 218 orang. Adapun jumlah total pengungsi mencapai 198 ribu orang, terdiri dari 56 ribu orang dari Sleman, 62 ribu orang dari Magelang, 40 ribu dari Klaten, dan 30 ribu dari Boyolali.

Selain menyebabkan korban tewas dan luka-luka, ribuan rumah warga yang tinggal di keempat kabupaten tersebut juga luluh lantah. Begitu juga dengan lahan pertanian dan hewan ternaknya.

Heri Suprapto, Kepala Desa Kepuharjo, Sleman, Yogyakarta, kepada detikcom, mengatakan, 90 persen rumah penduduk di Desa Kepuharjo rata dengan tanah akibat terjangan awan panas dan material vulkanik. Bukan itu saja, puluhan ternak dan hektaran lahan pertanian milik warga desa ikut musnah. "Di desa kami yang tersisa hanya tinggal 1 dusun. Itu pun tinggal separuhnya," jelas bapak 4 orang anak ini.

Desa Kepuharjo merupakan salah satu desa yang dekat dengan puncak Merapi. Desa seluas 850 hektar ini, sebagian wilayahnya hanya berjarak sekitar 4 kilometer dari puncak Merapi. Adapun wilayah Desa Kepuharjo yang paling jauh dari puncak Merapi berjarak 14 kilometer. Akibat amuk Merapi tersebut, warga Kepuharjo yang berjumlah 2.994 jiwa ini terpaksa mengungsi. Mereka tersebar di sejumlah tempat pengungsian yang ada di wilayah Sleman.

Sementara Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan sleman, mencatat, sejauh ini sapi yang mati di wilayah Sleman sebanyak 275 ekor yang tersebar di Kinahrejo, Pelemsari, kaliadem dan Ngrangkah. Sementara puluhan lainnya kondisinya sangat mengenaskan karena kulitnya melepuh bahkan banyak yang mengelupas. Belum lagi sapi-sapi yang selamat sebagian besar terkena radang saluran pernapasan dan gangguan pencernaan.

Sejauh ini, pemerintah pusat mengaku masih mendata sapi-sapi yang menjadi korban letusan gunung Merapi di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Namun Menteri Pertanian Suswono saat ditemui wartawan di Gedung Agung, Yogyakarta, mengatakan, pemerintah sudah menyiapkan dana Rp 100 miliar untuk mengganti sapi milik warga yang yang jadi korban Merapi.

Selain hewan ternak, warga di sekitar lereng Merapi juga mengalami kerugian akibat lahan pertanian mereka rusak akibat abu vulkanik. Misalnya di wilayah Jawa Tengah, yakni di Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Klaten. Menurut data yang dirilis Pemprov Jawa Tengah, akibat letusan merapi ribuan hektar lahan pertanian rusak.

Lahan pertanian yang rusak di tiga wilayah tersebut, meliputi lahan pertanian Salak seluas 1.350 hektar, tanaman padi seluas 1.014 hektar, jagung seluas 2.711 hektar, cabai seluas 159 hektar, ubi kayu seluas 132 hektar, ubi jalar seluas 157 hektar, bunga kol 40 hektar, kacang panjang 26 hektar, bawang daun 120 hektar, kubis 182 hektar, sawi 30 hektar, tomat 115 hektar, terong 6 hektar, wortel 170 hektar, buncis 61 hektar, timun 6 hektar, dan labu siam seluas 24 hektar.

Rusaknya rumah, harta benda dan lahan pertanian tentu menimbulkan kerugian yang besar bagi warga yang tinggal di lereng Merapi. "Rumah dan lahan sawah saya semuanya ludes. Bahan ijazah, BPKP, dan sertifikat tanah sudah hangus terbakar," keluh Suprapto.

Meski sudah tidak ada lagi yang tersisa, namun Suprapto berharap bencana ini supaya cepat berakhir. Setidaknya dia dan warga desa punya kepastian soal masa depan mereka. Apakah akan direlokasi atau tetap dibolehkan menempati wilayah yang sudah turun-temurun mereka tinggali. Apalagi mereka sudah tidak kerasan tinggal di pengungsian yang sesak dan banyak keterbatasan.

Namun harapan itu sejauh ini belum menemui kepastian. Sebabnya Gunung Merapi hingga saat ini masih bergelora. Sebab hampir setiap hari suara gemuruh dan hembusan awan panas masih terjadi. "Hingga kini energi yang tersimpan di gunung tersebut masih tetap tinggi. Dan setiap saat bisa dikeluarkan," ungkap Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), R Sukhyar saat dihubungi detikcom.

Menurutnya, energi Gunung Merapi sejak letusan 3 November hingga 7 November 2010 jumlahnya tiga kali lebih besar dengan energi letusan pada 26 Oktober 2010. Itu sebabnya status 'Awas Merapi' masih terus ditetapkan. Dan radius aman masih berjarak 20 kilometer.

Sukhyar juga memperingatkan warga, selain ancaman awan panas dan debu vulkanik, lahar dingin dari Merapi juga bisa menjadi ancaman serius. Itu sebabnya warga yang tinggal di 12 sungai yang berhulu di Gunung Merapi untuk tetap waspada, terutama warga yang tinggal di sekitar Sungai Gendol.

Saat ini, kawah berdiameter 400 meter yang telah terbentuk di puncak Merapi lebih terbuka ke Selatan atau mengarah ke Kali Gendol. "Kami meminta warga yang tinggal di sungai Gendol harus waspada dari ancaman awan panas dan lahar."

Menurut Sukhyar, ancaman tersebut hanyalah sebatas prediksi saja. Sebab jika melihat semburan awan panas dan material vulkanik yang belakangan terlontar secara vertikal, penyebarannya bisa ke mana saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar